Selasa, 22 Maret 2011

Di Telantarkan di Indonesia , Noah Bakena Curhat


JAKARTA- Impian akan karir sukses sebagai pemain sepak bola di luar negeri, seringkali berakhir dengan mimpi buruk untuk pemuda Afrika. Ditinggalkan dan dibiarkan sendiri. Mereka tampaknya kehilangan segalanya ketika pulang ke tanah air.
Pemain sepak bola Kamerun, Noah Bakéna berusia 31 tahun. Setelah tinggal di Indonesia hampir dua tahun, ia kembali ke Kamerun, di mana ia bermain untuk Bonamoussadi Youth, klub lokal, divisi II. "Ini hanya untuk menjaga kondisi saya, agar tetap fit, sampai cedera pada lutut sembuh sepenuhnya," katanya.

Bakéna cedera pada 4 Januari, 2007, hanya sepekan setelah menandatangani kontrak dengan klub sepak bola Indonesia, Persikabo Bogor. "Itu terjadi sewaktu pertandingan persahabatan. Dokter mengatakan saya tidak bisa bertanding selama enam bulan, dan klub memutuskan memecat saya tanpa memperdulikan masa kontrak," cerita Bakéna.

Atlit muda mendatangi Asosiasi Sepak Bola Internasional FIFA dan meminta supaya dilakukan penyelidikan. "Saya tinggal di Indonesia tanpa dokumen mau pun uang. 1 Oktober 2008, saya ditahan dan dipenjarakan karena izin tinggal saya kadaluarsa, jadi ilegal," katanya.

Dengan bantuan Asosiasi Pesepak Bola Kamerun AFC, Federasi Internasional Pesepak Bola Profesional FIFPro dan FIFA, Bakéna bebas penjara sebulan kemudian, dan pulang ke Kamerun.

Sejak itu, AFC membantu Bakéna menemukan klub baru. Tapi setelah tiga tahun tidak aktif, tidak mudah untuk kembali bekerja. Klub melatihnya setiap hari dari jam 6 sampai jam 9 pagi. Tapi bekas pemain profesional dari Persikabo Bogor kehilangan ritme latihan intensif. Berat badannya naik beberapa kilogram, dan lututnya belum sembuh total.

Namun menurut Bakéna, hal paling sulit adalah bahwa ia selalu dinilai orang-orang lain. Bakéna bercerita ia selalu menjadi bahan olok-olokan. "Pulang ke Kamerun dalam kondisi seperti ini, tidak mudah. Bila anda berada di luar Afrika, keluarga selalu menaruh harapan pada anda. Tapi ketika pulang tanpa uang, setelah mendekam di penjara, Itu memalukan," katanya.

Berkat dukungan beberapa organisasi sepak bola, Bakéna tidak mengalami situasi sama seperti banyak pesepak bola Afrika lain yang gagal. Mereka banyak yang menjadi pecandu alkohol, kejahatan dan kemudian dikucilkan.

Mei 2010, putusan FIFA diumumkan: bekas klubnya, Persikabo Bogor harus membayarnya 30 ribu dolar AS sebagai uang kompensasi. Dengan uang ini, Bakena bisa keluar rumah orang tua, dan membeli rumah untuk istri dan putrinya. Uang itu juga membantu membiayai perawatan yang tepat untuk lututnya.

Sebelum Indonesia, Bakéna juga mengatakan memiliki pengalaman negatif di Libya dan Korea Selatan. Tapi kendati semua kesulitan ini, ia tetap bermimpi suatu saat bisa bermain untuk klub asing. "Saya akan berusaha lagi, begitu lutut saya sembuh," ujarnya.

"Banyak kasus seperti Bakéna's," kata Luc Noé Bengan, jubir AFC. "Tapi atlit-atlit ini selalu siap meninggalkan tanah air: mereka berharap bisa menemukan hidup lebih baik di tempat lain."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar